Sabtu, 16 April 2016

Terjemah "The Last Leaf" karya O. Henry, 1907

Daun Terakhir

Banyak artis yang tinggal di Desa Greenwich di kota New York. Diantaranya Sue dan Johnsy, mereka tinggal di apartemen studio. Kamar mereka di lantai atas sebuah bangunan tua di Desa Greenwich.

Di November, ada sesuatu yang sangat dingin, asing, tidak terlihat, para dokter menyebutnya Pneumonia, ia mengintai kota, menjangkiti setiap orang dengan jari dinginnya. Jari dingin Pneumonia juga menyentuh Johnsy. Dia sangat sakit, berbaring di kasurnya dan tidak bergerak sama sekali. Dokter mengunjunginya setiap hari tapi Johnsy tidak kunjung membaik. Suatu pagi, dokter berbicara pada Sue di luar kamar Johnsy,

“Saya tidak bisa menolongnya,” kata dokter, “dia sangat sedih dan tidak punya harapan hidup. Seseorang harus membuatnya gembira lagi. Apa yang membuatnya tertarik?”

“Dia seorang artis,” jawab Sue, “dia ingin menggambar teluk Naples.”

“Melukis!” kata dokter, “Itu tidak akan membantunya!”

Sue frustasi dengan kabar ini dan tidak tau apa yang harus dilakukan untuk menolong Johnsy. Dia pergi ke ruang kerja dan menangis, kemudian dia berjalan dengan angkuh ke dalam kamar Johnsy dengan papan gambarnya, sambil bersiul bernada jazz. Johnsy bergumam di kasurnya dengan muka menatap ke jendela. Sue berhenti bersiul, mengira Johnsy tertidur.

Sue merangkai papan dan mulai menggambar ilustrasi sebuah cerita majalah. Ketika Sue mensketsa figur seorang pahlawan, Koboi Idaho, dia mendengar suara pelan, beberapa kali diulang. Dia pergi secepatnya ke sisi ranjang.

Mata Johnsy terbuka lebar. Dia melihat keluar jendela dan menghitung mundur.

“Duabelas,” katanya, dan beberapa saat kemudian, “sebelas,” kemudian, “sepuluh,” dan “sembilan,” dan lalu, “delapan” dan, “tujuh,” hampir bersamaan.

Sue melihat keluar jendela, bingung apa yang dihitung di sini? Di sana lahan gundul, hanya terlihat lapangan suram, dan sisi kosong dari rumah bata berjarak duabelas kaki. Tua, anggur ivy tua dengan akar busuk yang menjalar, memanjat setengah ke atas di dinding bata. Hawa dingin musim gugur yang melanda anggur sampai rangka tangkainya yang melekat, hampir hilang, ke bata yang runtuh.

“Ada apa, Sayang?” Tanya Sue.

“Enam,” kata Johnsy, hampir berbisik, “Mereka jatuh sangat cepat sekarang, tiga hari yang lalu mereka hampir ratusan. Kepalaku sakit ketika aku menghitung mereka, tapi sekarang mudah. Mereka jatuh satu demi satu. Hanya tinggal lima sekarang,”

“Lima apa, Sayang? Katakan padaku.”

“Daun di anggur ivy. Ketika yang terakhir jatuh aku harus pergi juga. Aku tahu itu terjadi setelah tiga hari. Tidakkan dokter memberitahumu?”

“Oh, aku tidak mendengar omong kosong macam itu,” keluh Sue, dengan cacian, “apa yang hubungan daun ivy tua itu dengan kesehatanmu? Tidurlah,” kata Sue, “aku harus memanggil Behrman naik untuk menjadi model sebagai penambang pertapa tua. Aku tidak akan pergi sebentar. Jangan bergerak sampai aku kembali.”

Behrman tua adalah seorang pelukis yang tinggal di lantai dasar bangunan yang sama. Dia enampuluh tahun dan selalu bermimpi melukis sebuah mahakarya, sialnya sampai sekarang dia tidak dapat memenuhi mimpinya. Sue menemukan Behrman sedang duduk di apartemennya yang redup. Dia mengatakan padanya kondisi Johnsy. Behrman tua, dengan mata merahnya, berteriak menghina atas imajinasi konyol tersebut.

Johnsy sedang tidur ketika mereka naik ke lantai atas. Sue mendorong kap lampu ke bawah ambang jendela, dan mengisyarakatkan Behrman ke ruangan lain. Di sana mereka mengintip ke luar jendela dengan takut-takut ke anggur ivy. Hujan es telah jatuh, bercampur dengan salju. Ketika Sue bangun pada pagi selanjutnya, ia menemukan Johnsy tidak berdaya, matanya terbuka lebar menatap corak hijau.

“Dorong ke atas, aku ingin melihatnya,” bisiknya. Dengan letih Sue mematuhinya, “Ini satu yang terakhir,” kata Johnsy. Ini akan jatuh hari ini, dan aku akan jatuh di saat yang sama.”

“Sayang, Sayang!” kata Sue, mencondongkan muka dekilnya ke bantal, “Pikirkan aku, jika kau tidak memikirkan dirimu. Apa yang harus kulakukan?” Johnsy tidak menjawab.

Daun diam di tanaman anggur sepanjang hari. Malam itu, ada lebih banyak angin dan hujan. Ketika cahayanya cukup Johnsy menyuruh kelambu diangkat. Daun ivy masih di sana.

“Aku sudah jadi perempuan modoh, Sue,” kata Johnsy, “aku menginginkan mati tetapi daun terakhir tetap di tanaman anggur untuk memberiku pelajaran. Tolong bawakan aku sup sekarang,” “kau tau Sue, aku berharap suatu hari bisa menggambar Teluk Naples.”

Dokter mengunjungi gadis itu suatu siang, “Lekas sembuh untuk temanmu,” katanya, “dia mulai membaik. Sekarang saya harus ke bawah. Saya mau mengunjungi Tn. Behrman. Dia juga mengidap Pneumonia. Saya harus mengantarnya ke rumah sakit.”

Besoknya, dokter mengatakan pada Sue, “Dia lepas dari bahaya. Kau menang. Jaga nutrisi dan kesehatannya sekarang – itu semua,” dan siangnya Sue datang ke kasur tempat Johnsy berbaring, merasa lega sambil merajut sebuah syal wol, “aku harus mengatakan sesuatu padamu, Sayang,” katanya, “Tn. Behrman meninggal karena Pneumonia hari ini di rumah sakit. Dia sakit hanya dua hari. Perawat menemukannya pada pagi hari pertama di ruangannya di lantai bawah. Sepatu dan bajunya basah dan dingin layaknya es. Mereka tidak bisa membayangkan dia berada di malam yang sangat mengerikan. Kemudian mereka menemukan lentera, masih menyala, dan sebuah tangga telah berpindah dari posisinya, dan beberapa kuas berhamburan, dan palet dengan warna hijau dan kuning yang bercampur di sini, dan – lihat di luar jendela, Sayang, daun ivy terakhir di dinding. Tidakkan kau bayangkan itu tidak pernah bergerak atau berpindah ketika angin bertiup. Ah, Sayang, ini mahakarya Behrman – dia menggambar itu di sana di sebuah malam ketika daun terakhir gugur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar